Daán yahya/Republika

Sejarah Permulaan Penuliasan Sirah

Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.

Oleh: Hasanul Rizqa

Untuk lebih mengenal profil seorang tokoh sejarah, publik mengandalkan genre tulisan biografi. Jenis ini merujuk pada riwayat hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Itu berkebalikan dengan autobiografi atau antibiografi. Yang pertama adalah riwayat hidup pribadi yang ditulis sendiri, sedangkan yang belakangan berarti riwayat hidup pribadi orang-orang yang ditemui seseorang di periode tertentu yang penting dalam hidupnya.

 

Bagi setiap Muslim, tidak ada tokoh historis yang paling penting selain Nabi Muhammad SAW. Sebab, dengan wasilah beliaulah ajaran Islam sampai kepada umat manusia hingga akhir zaman nanti. Bahkan, melalui syafaat Rasulullah SAW pula, setiap insan yang beriman akan mendapatkan pertolongan Allah SWT di Hari Pembalasan.

 

Alquran telah menegaskan keutamaan Nabi SAW. “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah” (QS al-Ahzab: 21).

 

Untuk bisa mengenal dan meniru pribadi Rasul SAW, seseorang tidak mungkin mengabaikan riwayat hidupnya. Sejak lebih dari 14 abad silam, kalangan rawi dan sarjana Muslim telah berupaya memotret kehidupan beliau, baik pada masa sebelum maupun ketika menjadi utusan Allah. Tulisan mereka menjadi legasi yang sangat berharga untuk dibaca dari generasi ke generasi.

 

Penulisan sejarah Rasulullah SAW dikenal sebagai Sirah Nabawiyah. Sejak abad pertama Hijriyah, para penulis Muslim mulai mengumpulkan laporan-laporan historis (akhbar) mengenai babak-babak kehidupan sang pembawa risalah Islam. Hal itu kian berjalan seiring dengan pembukuan Alquran dan kemudian hadis.

 

Sirah berasal dari kata sara, yang berarti ‘perjalanan.’ Maka dari itu, Sirah Nabawiyah berarti perjalanan kehidupan Nabi Muhammad SAW, yakni sejak kelahiran hingga wafatnya. Terminologi itu diperkenalkan pertama kali oleh Ibnu Syihab az-Zuhri (wafat 124 H), seorang ulama Madinah yang pakar ilmu hadis. Berpuluh tahun kemudian, Ibnu Hisyam al-Bashri (wafat 218 H) melalui karya-karyanya memopulerkan istilah tersebut.

 

Sebelum dipandang sebagai sebuah disiplin keilmuan atau genre biografi, Sirah Nabawiyah tidak lepas dari studi hadis. Pada abad pertama Hijriyah, cukup banyak ahli sunah yang secara khusus mengumpulkan hadis-hadis terkait babak-babak dalam kehidupan al-Musthafa. Di antara mereka ialah ‘Urwah bin Zubair (wafat 94 H), Wahab bin Munabbih (wafat 105 H), dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Selain itu, ada Musa bin Uqbah dan Muhammad bin Ishaq alias Ibnu Ishaq (wafat 150 H).

 

‘Urwah mulanya ditanya oleh beberapa khalifah Dinasti Umayyah saat itu, semisal Abdul Malik bin Marwan dan al-Walid I. Keduanya menanyakan tentang beberapa peristiwa yang pernah terjadi pada masa Nabi SAW. Sang ahli hadis menjawab surat mereka dalam bentuk narasi formal, bukan penceritaan selayaknya teks biografi. Sebab, para raja Umayyah itu diketahui lebih menyukai tulisan ringkas, bukan naskah panjang.

 

Sementara itu, Wahab mengoleksi hadis-hadis Rasulullah SAW, termasuk yang berkenaan dengan beberapa peristiwa penting pada zaman beliau. Bagaimanapun, konsen ulama keturunan Persia itu cenderung tidak berfokus pada Sirah Nabawiyah saja. Ia menulis Qisas al-Anbiya (Kisah-kisah para nabi). Seperti tampak pada judulnya, kitab itu mengulas gambaran singkat para utusan Allah Ta’ala, tidak hanya Nabi Muhammad SAW. Wahab pun dikenal sebagai seorang cendekia yang fasih mengutip kisah-kisah Bani Israil (Israiliyat).

DOK PIXABAY

Adapun Ibnu Syihab az-Zuhri merupakan pionir sirah. Dengan genre tulisan itu, ia menghimpun hadis-hadis yang berkenaan dengan kehidupan Rasulullah SAW. Para muridnya—yang di kemudian hari dikenal sebagai peletak dasar disiplin Sirah Nabawiyah—sering kali mengambil az-Zuhri sebagai sumber rujukan utama. Dalam hal ini, ulama yang tumbuh besar di Madinah itu memiliki dua orang murid yang brilian, yakni Musa bin Uqbah dan Ibnu Ishaq.

 

Musa menulis Kitab al-Maghazi. Para sejarawan modern mengakui karya itu sebagai rintisan awal tradisi penulisan Sirah Nabawiyah. Kata maghazi berasal dari ghaza yang berarti ‘perang’ atau ‘ekspedisi militer.’ Alhasil, karya Ibnu Uqbah itu berisikan riwayat peperangan yang pernah diikuti atau dipimpin Rasulullah SAW. Metode penulisan maghazi dan juga sirah sebenarnya mirip seperti pada ilmu hadis. Dalam arti, para penulisnya sangat hati-hati dalam memilah dan memilih sanad, matan, serta rawi. Dengan begitu, keautentikan sumber dapat dipastikan.

 

Historiografi perang pada masa Nabi SAW tidak berarti penyebaran dakwah Islam ketika itu dimotori kekerasan. Ajaran Islam membolehkan berperang dengan alasan defensif, yakni mempertahankan diri dari serangan musuh. Oleh karena itu, setiap perang yang dilakukan Rasulullah SAW bertujuan membela agama Allah.

 

Selain Ibnu Uqbah, Aban (wafat 105 H) disebut-sebut sebagai perintis genre maghazi Rasulullah. Putra Khalifah Utsman bin Affan itu merupakan seorang ahli hadis pada abad pertama Hijriyah. Dari pelbagai sunah yang dikumpulkannya, ia pun menyusun sebuah kitab maghazi.

 

Metode

 

Ibnu Ishaq dengan karyanya, As-Sirat an-Nabawiyah, dipandang sebagai peletak dasar disiplin penulisan buku biografi Nabi Muhammad SAW. Kitab tersebut memuat berbagai aspek kehidupan Rasulullah SAW, mulai dari kelahiran hingga meninggalnya. Itu disusun dengan metode tematik, yakni berdasarkan pada tema-tema dari pelbagai peristiwa yang terjadi secara kronologis.

 

As-Sirat terdiri atas 170 bagian. Meskipun naskah aslinya diyakini sudah hilang, bagian-bagian dari kitab itu masih terjaga berkat dikutip para penulis, baik yang hidup sezaman maupun sesudah Ibnu Ishaq. Maka dari itu, nasib As-Sirat lebih baik ketimbang Al-Maghazi karya penulis yang sama. Sebab, kitab yang tersebut akhir itu telah hilang sama sekali.

 

Salah seorang sarjana yang mengutip panjang-lebar dari As-Sirat ialah Ibnu Hisyam al-Bashri. Ada pula at-Tabari (wafat 310 H), sang penyusun At-Tarikh ar-Rasul wa al-Muluk atau yang terkenal sebagai Tarikh at-Tabari. Murid Ibnu Syihab az-Zuhri itu tidak hanya menampilkan babak-babak kehidupan Rasulullah SAW, tetapi juga penjelasan tentang kondisi bangsa Arab sebelum beliau dilahirkan.

 

Ibnu Ishaq memengaruhi para penulis dari generasi sesudahnya. Sebut saja, Ibnu Hisyam atau Ibnu Sayyid an-Naas. Para sarjana lain, semisal Ibnu Qayyim al-Jauziyah, menggunakan kronologi yang dibuat pendahulunya itu untuk menulis kitab Zadul Ma’ad.

 

Dr Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah (2009) mengatakan, As-Sirat merupakan rujukan paling otoritatif pada masanya. Publik dapat berterima kasih kepada Ibnu Hisyam yang telah menyunting dan meringkas kitab pendahulunya itu. Hasil kerjanya kemudian memunculkan karya baru, yakni Sirah Ibnu Hisyam.

Sebelum dipandang sebagai sebuah disiplin keilmuan atau genre biografi, Sirah Nabawiyah tidak lepas dari studi hadis.

Perkembangan

 

Sejak era Ibnu Ishaq, disiplin penulisan Sirah Nabawiyah terus berkembang. Kajian tersebut tidak hanya berisi kisah-kisah Rasulullah SAW, tetapi juga berbagai pendekatan dan metodologi keilmuan.

 

Ragam dan kategori karya tentang biografi Nabi Muhammad SAW pun kian beragam. Tidak hanya sirah yang acap kali hadir dalam berjilid-jilid buku, ada pula format syamail (biografi ringkas) dan madaih (syair dan pujian). Semuanya menuturkan topik yang sama, yakni kehidupan sang junjungan. Terdapat kitab tentang sejarah Rasulullah SAW yang ditulis secara komprehensif, seperti kitab Dalail an-Nubuwwah karya Ismail Asbahani, al-Baihaqi, serta al-Faryabi.

 

Al-Buthy menjelaskan metode yang dipakai para penulis sirah dalam menyusun karya.  Pada saat itu, mereka menggunakan metode yang datam historiografi dikenal sebagai “aliran objektif.” Disebut demikian karena para sarjana itu tidak mengandalkan karya-karya mereka saja untuk memotret kejadian dalam kehidupan sang Nabi. Mereka pun mengukuhkan informasi yang ada dengan riwayat-riwayat sahih dari beliau.

 

Dalam melakukan hal ini, metode tersebut merujuk pada studi ilmu al-mushthalah al-hadits, terutama yang berkaitan dengan sanad dan matan. Selain itu, kaitannya terdapat pula pada ilmu al-jarh wa al-ta‘dil yang berkenaan dengan para perawi, termasuk biografi dan catatan kepribadian masing-masing periwayat.

 

Ketika menemukan sebuah kejadian yang dinilai benar-benar nyata berdasarkan kedua metode yang digunakan, mereka akan langsung menuliskannya, tanpa menambah-nambahkan opini apa pun. Para penulis ini meninggikan kredibilitas dan kepresisian. Mereka meyakini bahwa memasukkan opini dan tendensi pribadi ke dalam sirah merupakan sebuah bentuk pengkhianatan intelektual.

 

Dengan begitu, sirah benar-benar terjaga dan terawat hingga ke tangan generasi-generasi berikutnya. Aspek keterandalan itu sangat penting. Sebab, narasi tentang kehidupan Nabi SAW dapat dipakai untuk memahami Alquran dan Sunah.

 

Sebagai gambaran, banyak ayat atau keterangan dari Alquran dan hadis yang membutuhkan penjelasan tentang konteks agar seseorang bisa memahami sepenuhnya. Pengetahuan tentang kehidupan Rasulullah SAW sangat menolong untuk itu. Misal, firman Allah dalam surah ad-Dhuha ayat ketiga, yang artinya, “Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.”

 

Ketika dibaca sendiri, tidak ada konteks sama sekali untuk memahami ayat ini. Tapi sirah melukiskan latar belakang di mana wahyu ini diturunkan. Nabi Muhammad tidak menerima wahyu untuk beberapa waktu sebelum ayat ini dan berurusan dengan musuh-musuhnya yang mengejeknya. Pikiran bahwa Allah menjadi tidak senang dengan akhirnya menetap di kepalanya dan saat itulah Tuhan meyakinkan Nabi bahwa ini tidak terjadi.

 

Istilah Sirah Nabawiyah tidak melulu tentang karya para ulama dari era klasik. Pada zaman modern pun, tidak sedikit cendekiawan Muslim yang berkarya dengan metode seketat disiplin ini. Misalnya, karya Safi-ur-Rahman Mubarakpuri yang berjudul Ar-Rahiq al-Makhtum. Ditulis dalam bahasa Urdu, versi berbahasa Arabnya dianugerahi juara pertama oleh Liga Muslim Dunia dalam acara Konferensi Sirah Islam Internasional pada 1979.

 

Ar-Rahiq al-Makhtum telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yakni The Sealed Nectar. Judul karya itu dalam bahasa Arab terinspirasi dari surah al-Mutaffifin ayat 25. Kitab tersebut memaparkan berbagai fase kehidupan Nabi SAW. Semuanya ditulis Mubarapuri dengan merujuk pada sumber-sumber yang otentik.

DOK  WIKIPEDIA

Kritik al-Buthy Soal Penulisan Sirah

Saat ini, publik dapat memilih berbagai macam buku biografi Nabi Muhammad SAW atau Sirah an-Nabawiyyah. Di perpustakaan atau toko-toko buku, terdapat banyak pilihan. Bagaimanapun, seorang ulama dari Timur Tengah Syekh Dr Said Ramadhan al-Buthy (wafat 2013) menyoroti perihal konten dari buku-buku sirah yang marak dijumpai pada masa kini.

 

Dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah (2009), ia menjelaskan, kebudayaan Eropa (Barat) turut memengaruhi studi penulisan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW atau Sirah an-Nabawiyah modern. Hal itu mulai kian terasa sejak abad ke-19 M. Waktu itu, berbagai pemikiran Barat mulai merambah kegiatan intelektual kaum Muslimin.

 

Syekh al-Buthy mencontohkan gagasan psikoanalisis dari Sigmund Freud (meninggal 1939). Ahli neurologi dari Austria itu mengajukan ide tentang penulisan biografi yang berdasarkan pada tendensi individu. Menurutnya, seorang sejarawan boleh saja memasukkan kecenderungan pribadi, ideologi, atau pandangan politiknya dalam menyusun narasi tentang seseorang.

 

Ulama kelahiran Turki itu menyebut corak Freudian ini sebagai “aliran individualis” dalam sejarah sirah. Itu bertolak belakang dengan “aliran objektif” yang telah muncul sejak pertama kali disiplin Sirah Nabawiyah mengemuka, yakni sekira lima abad pertama Hijriyah. Disebut “objektif” karena para penulis Muslim tidak hanya mengandalkan karya-karyanya untuk memotret peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Rasulullah SAW.

Berbeda dengan sebelumnya, kitab-kitab itu tidak lagi menggunakan riwayat, sanad, dan prinsip sebagaimana yang berlaku dalam ilmu hadis.

Mereka pun mengukuhkan informasi yang ada dengan riwayat-riwayat sahih dari beliau. Ini tak mengherankan, sebab penyusunan sirah dimulai setelah penulisan hadis. Bahkan, banyak metode yang dipakai para pembuat biografi Nabi SAW mengikuti kaidah-kaidah mustholah hadits.

 

Penulis Al-La Mazhabiyyah itu menerangkan, bagi kalangan pendukung “aliran individualis”, di dalam sebuah biografi tidak hanya boleh terselip pandangan-pandangan politik atau ideologi penyusunnya. Bahkan, interpretasi subjektif menjadi hal yang wajib dilakukan kaum sejarawan. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi penutur-ulang atau pengumpul catatan berbagai peristiwa sejarah. Hasil kerjanya seakan-akan kreasi seni atau sastra, bukan karya ilmiah yang disusun secara cermat.

 

“Alhasil, penganut aliran ini menjadikan usaha penulisan sejarah sebagai ‘karya seni,’” simpul mubaligh wafat di Suriah itu.

 

Al-Buthy memerinci penyebab masuknya pengaruh Barat dalam ranah sirah. Menurutnya, tonggak awalnya ialah pendudukan Britania Raya atas Mesir yang bermula pada 1882. Menurutnya, Negeri Piramida pada abad ke-19 menjadi wajah terdepan dari dunia Islam. Kaum Muslim terpelajar menjadikannya sebagai kiblat dalam bidang intelektualitas dan pemikiran keagamaan.

DOK WIKIPEDIA

Inggris mampu menduduki Mesir dengan pendekatan militer. Berbagai wilayah strategis di sana pun dapat dicaploknya. Bagaimanapun, penjajahan yang dilakukan Negeri Albion tidak berlangsung adem-ayem. Banyak kalangan Muslimin setempat yang berupaya melawan. Termasuk di antara mereka ialah para cerdik cendekia Universitas al-Azhar.

 

Alih-alih mengisolasi al-Azhar, pemerintah kolonial Inggris memilih untuk menyusupkan gagasan-gagasan pro-Barat ke kampus itu. Yang ditanamkan ialah perasaan “kalah” terhadap Barat. Para sarjana Muslim dipertontonkan dengan pelbagai pencapaian teknologi dan pemikiran sekuler dari Eropa. Lewat infiltrasi itu, sebagian pemikir Mesir mulai terpengaruh oleh sekulerisme. Mereka meyakini bahwa kemajuan yang dinikmati Barat terjadi lantaran agama ditundukkan di bawah kuasa ilmu pengetahuan dan sains.

 

“Agama dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali berbeda dan terpisahkan dari ilmu pengetahuan. Keduanya tidak mungkin dipertemukan,” kata al-Buthy menggambarkan.

 

Dalam waktu singkat, bisikan para penjajah itu menguasai orang-orang Islam yang pandangannya silau terhadap progres Eropa modern. Barat saat itu mengedepankan rasionalisme dan empirisisme. Dengan demikian, wahyu atau hal-hal yang transenden tidak dianggap.

DOK WIKIPEDIA

Alhasil, sirah Nabi SAW sejak zaman klasik ditinjaunya kembali. Legasi dari generasi salaf itu dilihatnya dengan perspektif sekuler Barat. Maka buku-buku tentang riwayat kehidupan Rasulullah SAW mulai bermunculan. Berbeda dengan sebelumnya, kitab-kitab itu tidak lagi menggunakan riwayat, sanad, dan prinsip sebagaimana yang berlaku dalam ilmu hadis (mustholah hadits). Wahyu tak lagi menjadi tolok ukur kebenaran.

 

“Dengan metode baru tersebut, para penulis sesat itu lalu menyingkirkan semua hal yang mereka anggap tidak masuk akal (dalam Sirah Nabawiyah), seperti mukjizat (Nabi SAW) dan kejadian luar biasa. Mereka hanya mencitrakan Rasulullah SAW sebagai sosok pemimpin jenius yang hebat, heroik, dan sebagainya,” tutur al-Buthy.

 

Sementara itu, akademisi Mesir yang juga penulis Hayyatu Muhammad (1933), M Husain Haekal menganggap perkara “tidak dimuatnya” mukjizat dalam sirat sebagai perbedaan perspektif belaka. Dalam arti, itu tak ada kaitannya dengan anggapan-anggapan semisal “terpukau” oleh sekulerisme Barat. Dalam kata pengantarnya untuk buku itu, tokoh yang pernah menjadi menteri pendidikan Mesir itu mengutip Syekh Mustafa al-Maragi yang berkata, “Kekuatan mukjizat Nabi SAW hanyalah pada Alquran, dan mukjizat ini sungguh rasional.”

 

“Sejarah tidak menyebutkan bahwa mukjizat-mukjizat itu (kejadian yang di luar jangkauan nalar—Red) pernah membuat orang jadi beriman. Malah, bukti mukjizat Tuhan terbesar ialah wahyu yang diturunkan melalui Nabi-Nya, dan perihidup Nabi sendiri dengan akhlaknya yang begitu tinggi,” tulis Haekal.

top

Sejarah Permulaan Penuliasan Sirah